Laut dan Matahari Tenggelam

“Na, kalo lo bisa berubah wujud, mau jadi apa?”

Pertanyaan Arga sore itu membuat Lana yang tengah melahap makanannya mendongak. Menatap Arga bingung, tapi tetap menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya itu.

“Jadi... nggak tau. Kenapa?”

“Biasa, sunset 'kan, jagonya bikin orang mikir yang aneh-aneh.”

Lana tertawa, kembali fokus pada makanannya.

Muda-mudi ini sedang duduk di pinggir pantai, menikmati makanan laut bersama matahari yang mulai pulang. Tentunya, dengan baju dan tampilan kusut karena ajakan Arga selalu datang di waktu yang tidak terduga.

Seperti tadi. Lana tengah asyik tidur, tapi Arga tiba-tiba datang ke rumahnya. Menjemput gadis itu hanya untuk menemaninya bersedih di tepi laut—entah bersedih untuk apa.

“Na,” panggil Arga.

Lana memutar bola matanya. “Apa lagi buseeeet.”

“Ada pesawat yang mau mendarat.”

Diikutinya telunjuk Arga yang mengarah pada sebuah pesawat yang terbang rendah.

“Terus?”

“Barangkali lo mau liat.”

“Arga,” Lana melotot, “Kita bisa ke sini kapan aja. Jangan kayak orang katrok gitu.”

Arga tertawa kencang, membuat tidak sedikit pengunjung pantai menoleh pada mereka berdua. Lana menjitak kepala lelaki di hadapannya, pemiliknya langsung mengaduh kesakitan.

“Na,” panggil Arga lagi, “Menurut lo, kenapa sih, orang-orang bahagia kalo ke pantai?”

Lana mengangkat bahunya. “Lo tanya aja sendiri.”

“Orang-orang seneng liat laut, apa liat matahari tenggelam sih?”

Lagi-lagi, Lana mengangkat bahunya.

“Na, dengerin gue dong!”

“Mending lo makan, Ga. Ngelantur juga butuh tenaga.”

Arga tersenyum jahil, tetapi mengikuti saran Lana. Terlalu banyak berbicara membuat perutnya berteriak meminta asupan.

“Dua-duanya,” jawab Lana akhirnya, “Sunset tanpa laut rasanya hambar, tapi laut tanpa sunset lebih hambar lagi.”

Selesai makan, keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir pantai. Menikmati langit yang mulai kelam, bersama deburan ombak yang tak kunjung tamam.

Arga berhenti, Lana mengikutinya. Mereka kemudian duduk, menatap lurus ke arah matahari.

“Na, kenapa ya, orang-orang seneng kalo ke pantai?”

“Gue 'kan udah bilang, tanya aja sendiri.”

“Kok, gue nggak pernah merasa begitu ya, Na?”

Lana mengangkat bahunya. “Karena lo tinggal di sini kali? Maksudnya, sehari-hari lo ditemenin beginian, bisa ke sini kapan aja, jadi rasanya udah ilang kali?”

“Bukan,” Arga menggeleng, “Gue seneng, tapi gue sedih. Lo pasti pernah, sedih, terus ke pantai, ngeliatin sunset macem aktor di film. Lo lakuin dengan harapan sedih lo ilang. Ya emang, sih. Tapi lo tetep nangis.”

Lana mengangguk cepat. Ia pernah merasakannya.

“Tapi lo pasti juga pernah, dateng-dateng seneng, tapi pulangnya nangis walaupun tetep senyum.”

Anggukan kedua Lana seolah menyetujui pernyataan demi pernyataan yang keluar dari mulut Arga.

“Gue selalu begitu, Na. Gue selalu pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk kalo abis dari pantai.”

Kemudian hening. Baik Arga maupun Lana sama-sama diam, seperti membiarkan jiwa mereka tenggelam bersama ciptaan Tuhan. Tidak ada ponsel, tidak ada kamera. Hanya mata dan hati yang merasa.

Baik Arga maupun Lana sama-sama sedang tidak baik-baik saja. Yang satu sedang patah hati, yang satu sedang dijauhi mimpi. Kalau kata orang mahir bahasa, semesta sedang bercanda.

Arga dan Lana bukan pasangan, mereka cuma teman yang tak pernah pisah haluan. Kalau Lana sedih, maka Arga yang ia pilih. Kalau Arga gundah, maka Lana yang beri arah.

Arga dan Lana... cuma makhluk Tuhan yang berharap keadilan. Keduanya ingin dunia membuka mata, walaupun mereka hanya dua dari beratus juta.

“Na, pantai jam segini bahaya banget, ya.”

Lana mengangguk mengiyakan. Semua orang tahu, pantai dan matahari tenggelam adalah kombinasi yang mematikan. Yang sedih bisa makin sedih, yang senang bisa makin senang. Tapi Arga dan Lana adalah makhluk asing, datang dengan gembira, pulang tak tahu rasa.

“Gue pengen deh, bisa lebih baik lagi.”

Lana menoleh, menatap Arga yang kini menghela napas.

“Semua orang pelan-pelan mulai berhasil dapet targetnya. Bohong sih, kalo nggak iri. Ya lo liat sendiri, gue masih di sini-sini aja. Rasanya kayak jalan gue terlalu lambat.”

“Ga, semua ada waktunya. Semua ada prosesnya. Pelan-pelan, tenaganya jangan dikuras habis-habisan.”

Arga menunduk. Kepalanya dan matahari sama-sama bergerak turun.

Ia... malu. Pada dirinya, dan pada lingkungannya. Kepercayaan dirinya sedang hancur lebur, susah rasanya untuk kembali bertempur.

Arga sedang dihujani banyak pemikiran buruk. Menyalahkan sekitar karena berjalan terlalu cepat, menyalahkan diri sendiri karena berlari terlalu lambat.

“Jangan nyalahin sekitar, mana tau, mereka udah berjuang dari lama. Tapi jangan nyalahin diri sendiri, kalo lo udah berusaha paling kuat, terus lo mau apa?” ujar Lana, seolah tahu isi pikiran Arga.

Arga mengangkat kepalanya. Ia menatap Lana nanar, kemudian tersenyum kecil. Lana akan selalu menemani dengan suara lembutnya, setiap kali Arga mulai merasa “kecil”.

Diusapnya kepala gadis itu lembut.

“Makanya, kalo punya cowo, kenalin dulu. Biar gue yang seleksi.”

“Apa sih. Nggak jelas. Topik lo keluar jalur.”

Arga tertawa.

Langit sudah gelap. Pengunjung masih lumayan banyak, bahkan ada beberapa yang baru datang. Para pemusik juga masih giat menghibur orang-orang yang asik menyantap hidangan.

Bahkan di pinggir laut ini, Arga dan Lana cuma dua dari puluhan orang. Mereka bukan seperempat, apalagi setengah dari banyaknya makhluk Tuhan yang datang.

Ah. Setidaknya, Arga punya Lana, dan sebaliknya.

Langit makin kelam. Tapi Arga dan Lana tak kunjung pulang. Mereka justru menikmati setiap menit yang berlalu, melupakan beban yang terpikul di bahu.

Lana menoleh ke arah Arga, menghela napasnya pelan.

“Sabar ya, Arga. Semua ada waktunya. Sini peluk.”