punthera-nyx

nanti, kalau hari tinggal satu, semoga pesanku ini sampai padamu.

selagi matahari masih ada, maka izinkan ia hadir atas namaku;

izinkan ia memberitahu kalau dekapku masih sehangat api unggun yang kau cari di tengah gigilmu yang tak kunjung turun.

izinkan ia merengkuhmu dalam teriknya yang sarat akan puji dan puja yang kupanjatkan untuk wujudmu yang mengusir duka.

izinkan pula ia redup saat waktunya tandas, memastikan kau menyadari setiap jiwa berhak bebas tanpa harus takut tak lagi bisa lepas landas.

hingga saatnya suhu melandai, izinkan juga salju melantai;

izinkan ia terjun meski bekunya menusuk, agar kau tahu dalam terpuruk, ada aku yang siap menepuk.

izinkan ia menyengat lewat butir demi butir, sebab ada pesanku yang terukir—kalau kau boleh tergelincir dan itu bukan akhir.

dan izinkan ia menyapamu bersama hembusan yang padat kuasa, karena di sana ada aku yang tanpa raga menegaskan kau tak harus jadi sempurna untuk memikat banyak mata.

tapi bait ini biar kusimpan ini dahulu.

untuk nanti, saat hari tinggal satu dan kita sama-sama terbujur kaku.

tanpa pilu, tanpa ragu; sebab kita sudah satu.

I was in silence, and so was this guy right beside me. Sounds could be heard was just a comedy show on TV we didn’t pay attention to.

“So?”

I turned my head, stared at him who was playing with his fingers.

“What?”

“Us.”

I let out a sigh as my brain started to proceed more and more questions to ask and words to tell, which in the end, I didn’t do.

“I don’t know.”

“Neither do I,” He responded, “so what are we gonna do? About us.”

Us.

Is there still a thing such as “us?”

“There is,” He knew what was going on inside my head.

He looked at me. Hands roughly rubbed that face of his, as if he wanted to get rid of those burden he had been borne.

We messed up. Not for one or two, but countless times. And there seemed to be no light at the end of the tunnel—that led us to this point where we realized we had no choices.

“I love you.”

I approached him slowly. He grabbed my hands, held it like there is no tomorrow and I won’t be there anymore.

“I know. I do, too.”

“But—”

“Why?”

He nodded.

“We've done this a lot. Agree-to-disagree was what we always ended up with.”

“You don’t like it?”

This soft brown carpet was all I could see. “Not that I don't like it. It’s draining to do this over and over again.”

“Alright. I can do nothing, huh?”

His laugh was awkward.

Oh, how my lips started to quiver.

“Don't cry.”

“Sorry. Things are beyond my control.”

“I wish I was there to help you.”

I made sure to see his eyes while showing him his favorite smile, “You were always here, though.”

“I'm sorry. For all the things I did.”

“Don't. We were too hard on ourselves, we tried to fix each other too much that we didn't try to figure out what was broken.”

“If only I did better..”

“No,” I shook my head, “If only we did better.”

Said that with some emphasis on the word we, so that he knew there is no need to blame himself.

He stood up right after grabbing his stuffs that laid down on the table. I followed him as he walked towards the door.

“Thank you. Thank you for being yourself when you are with me.”

I nodded while holding back my tears.

“Oh, I said don't,” My cheeks were cupped, “You know I can’t leave you like this.”

We both laughed. An ugliest pain was what we felt, yet laugh was what we showed.

A laugh we both will crave one day, when snow falls and our hands won’t be intertwined in one’s pocket.

A laugh that helped us stay sane in the middle of solitude where our warm embrace felt like nothing but home.

“Thank you. For tons of things we did.” I said softly, though he heard it for sure.

Door was opened soon as those Adidas shoes perfectly worn.

“But, Wonwoo,”

He turned his figure which was four steps away from the door.

“If the world was ending,” I choked, “you'd come over, right?”

I knew this question surprised him. I did for sure because he immediately changed his gaze, then turned around after a single smile appeared as a wave of goodbye. A smile that made me know tomorrow won’t be easy.

His back was the last thing I saw. His back that reminded me of quite a few memories we wrote together, on a book that actually doesn’t deserve to be thrown away.

Wonwoo, if the world was ending..

“I'd come over. We both know it,” he whispered. Right before that two-wheeled vehicle met the night streets, with tears streamed down his face—pulled by gravity. Or by himself who was torn apart, shattered into pieces.

Because they once said, we both know you weren’t down for forever, and it’s fine.

It is—at least it will be.

Nanti, akan semakin banyak kerikil, tapi jangan pernah takut terpelintir.

Kalau kehilangan arah, jangan melemah, banyak ‘kok, yang siap kasih tanda panah.

Kamu nggak harus jadi sempurna, apalagi istimewa. Kamu cuma wajib jadi dirimu aja, tanpa ada campur tangan dan aba-aba.

Dewasa itu nggak harus buru-buru, kok. Jangan karena terpacu usia, kamu jadi ngerasa dilarang jadi remaja.

Kalau lagi liat-liat, lurus ke depan aja, jangan ke samping apalagi belakang. Nggak akan ada habisnya kalau dengerin kata orang.

Do what you love, and love what you do. But if you’re tired, don’t hesitate to take a break. Ingat kalau kamu juga butuh istirahat dan nggak harus selalu kuat.

Bebanmu nanti pasti makin banyak, jadi pelan-pelan aja. Jangan memaksa buat jalan dengan kecepatan tinggi ketika kamu belum siap diterjang belati.

Makan yang banyak, ya. Kesehatanmu harus jadi yang nomor satu, jangan yang lain malah dahulu.

Jangan lupa bahagia, tapi kalau sedih, jangan ditahan paksa. Kamu manusia, dan kamu berhak punya rasa.

Segitu dulu, ya.

Terima kasih sudah jadi bagian dari manusia yang kucari kalau lagi runtuh diterpa polusi.

Selamat ulang tahun, Mark Lee. Semoga hal baik selalu hinggap di tiap jalur yang kamu dekap.

Jangan pernah takut ketika kamu bikin salah, takutlah kalau kamu nggak mau belajar dari kesalahan.

— puntheranyx, 2020

“Na, kalo lo bisa berubah wujud, mau jadi apa?”

Pertanyaan Arga sore itu membuat Lana yang tengah melahap makanannya mendongak. Menatap Arga bingung, tapi tetap menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya itu.

“Jadi... nggak tau. Kenapa?”

“Biasa, sunset 'kan, jagonya bikin orang mikir yang aneh-aneh.”

Lana tertawa, kembali fokus pada makanannya.

Muda-mudi ini sedang duduk di pinggir pantai, menikmati makanan laut bersama matahari yang mulai pulang. Tentunya, dengan baju dan tampilan kusut karena ajakan Arga selalu datang di waktu yang tidak terduga.

Seperti tadi. Lana tengah asyik tidur, tapi Arga tiba-tiba datang ke rumahnya. Menjemput gadis itu hanya untuk menemaninya bersedih di tepi laut—entah bersedih untuk apa.

“Na,” panggil Arga.

Lana memutar bola matanya. “Apa lagi buseeeet.”

“Ada pesawat yang mau mendarat.”

Diikutinya telunjuk Arga yang mengarah pada sebuah pesawat yang terbang rendah.

“Terus?”

“Barangkali lo mau liat.”

“Arga,” Lana melotot, “Kita bisa ke sini kapan aja. Jangan kayak orang katrok gitu.”

Arga tertawa kencang, membuat tidak sedikit pengunjung pantai menoleh pada mereka berdua. Lana menjitak kepala lelaki di hadapannya, pemiliknya langsung mengaduh kesakitan.

“Na,” panggil Arga lagi, “Menurut lo, kenapa sih, orang-orang bahagia kalo ke pantai?”

Lana mengangkat bahunya. “Lo tanya aja sendiri.”

“Orang-orang seneng liat laut, apa liat matahari tenggelam sih?”

Lagi-lagi, Lana mengangkat bahunya.

“Na, dengerin gue dong!”

“Mending lo makan, Ga. Ngelantur juga butuh tenaga.”

Arga tersenyum jahil, tetapi mengikuti saran Lana. Terlalu banyak berbicara membuat perutnya berteriak meminta asupan.

“Dua-duanya,” jawab Lana akhirnya, “Sunset tanpa laut rasanya hambar, tapi laut tanpa sunset lebih hambar lagi.”

Selesai makan, keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir pantai. Menikmati langit yang mulai kelam, bersama deburan ombak yang tak kunjung tamam.

Arga berhenti, Lana mengikutinya. Mereka kemudian duduk, menatap lurus ke arah matahari.

“Na, kenapa ya, orang-orang seneng kalo ke pantai?”

“Gue 'kan udah bilang, tanya aja sendiri.”

“Kok, gue nggak pernah merasa begitu ya, Na?”

Lana mengangkat bahunya. “Karena lo tinggal di sini kali? Maksudnya, sehari-hari lo ditemenin beginian, bisa ke sini kapan aja, jadi rasanya udah ilang kali?”

“Bukan,” Arga menggeleng, “Gue seneng, tapi gue sedih. Lo pasti pernah, sedih, terus ke pantai, ngeliatin sunset macem aktor di film. Lo lakuin dengan harapan sedih lo ilang. Ya emang, sih. Tapi lo tetep nangis.”

Lana mengangguk cepat. Ia pernah merasakannya.

“Tapi lo pasti juga pernah, dateng-dateng seneng, tapi pulangnya nangis walaupun tetep senyum.”

Anggukan kedua Lana seolah menyetujui pernyataan demi pernyataan yang keluar dari mulut Arga.

“Gue selalu begitu, Na. Gue selalu pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk kalo abis dari pantai.”

Kemudian hening. Baik Arga maupun Lana sama-sama diam, seperti membiarkan jiwa mereka tenggelam bersama ciptaan Tuhan. Tidak ada ponsel, tidak ada kamera. Hanya mata dan hati yang merasa.

Baik Arga maupun Lana sama-sama sedang tidak baik-baik saja. Yang satu sedang patah hati, yang satu sedang dijauhi mimpi. Kalau kata orang mahir bahasa, semesta sedang bercanda.

Arga dan Lana bukan pasangan, mereka cuma teman yang tak pernah pisah haluan. Kalau Lana sedih, maka Arga yang ia pilih. Kalau Arga gundah, maka Lana yang beri arah.

Arga dan Lana... cuma makhluk Tuhan yang berharap keadilan. Keduanya ingin dunia membuka mata, walaupun mereka hanya dua dari beratus juta.

“Na, pantai jam segini bahaya banget, ya.”

Lana mengangguk mengiyakan. Semua orang tahu, pantai dan matahari tenggelam adalah kombinasi yang mematikan. Yang sedih bisa makin sedih, yang senang bisa makin senang. Tapi Arga dan Lana adalah makhluk asing, datang dengan gembira, pulang tak tahu rasa.

“Gue pengen deh, bisa lebih baik lagi.”

Lana menoleh, menatap Arga yang kini menghela napas.

“Semua orang pelan-pelan mulai berhasil dapet targetnya. Bohong sih, kalo nggak iri. Ya lo liat sendiri, gue masih di sini-sini aja. Rasanya kayak jalan gue terlalu lambat.”

“Ga, semua ada waktunya. Semua ada prosesnya. Pelan-pelan, tenaganya jangan dikuras habis-habisan.”

Arga menunduk. Kepalanya dan matahari sama-sama bergerak turun.

Ia... malu. Pada dirinya, dan pada lingkungannya. Kepercayaan dirinya sedang hancur lebur, susah rasanya untuk kembali bertempur.

Arga sedang dihujani banyak pemikiran buruk. Menyalahkan sekitar karena berjalan terlalu cepat, menyalahkan diri sendiri karena berlari terlalu lambat.

“Jangan nyalahin sekitar, mana tau, mereka udah berjuang dari lama. Tapi jangan nyalahin diri sendiri, kalo lo udah berusaha paling kuat, terus lo mau apa?” ujar Lana, seolah tahu isi pikiran Arga.

Arga mengangkat kepalanya. Ia menatap Lana nanar, kemudian tersenyum kecil. Lana akan selalu menemani dengan suara lembutnya, setiap kali Arga mulai merasa “kecil”.

Diusapnya kepala gadis itu lembut.

“Makanya, kalo punya cowo, kenalin dulu. Biar gue yang seleksi.”

“Apa sih. Nggak jelas. Topik lo keluar jalur.”

Arga tertawa.

Langit sudah gelap. Pengunjung masih lumayan banyak, bahkan ada beberapa yang baru datang. Para pemusik juga masih giat menghibur orang-orang yang asik menyantap hidangan.

Bahkan di pinggir laut ini, Arga dan Lana cuma dua dari puluhan orang. Mereka bukan seperempat, apalagi setengah dari banyaknya makhluk Tuhan yang datang.

Ah. Setidaknya, Arga punya Lana, dan sebaliknya.

Langit makin kelam. Tapi Arga dan Lana tak kunjung pulang. Mereka justru menikmati setiap menit yang berlalu, melupakan beban yang terpikul di bahu.

Lana menoleh ke arah Arga, menghela napasnya pelan.

“Sabar ya, Arga. Semua ada waktunya. Sini peluk.”